Terletak di antara Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Bandung, waduk multiguna ini memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah
sebagai pembangkit listrik tenaga air, sumber air irigasi, objek pariwisata,
bahkan sebagai sarana latihan atlet dayung nasional.
Sebagai sentra perikanan air tawar di Jawa Barat bahkan
Indonesia, waduk Jatiluhur menghasilkan ikan konsumsi tak kurang 100 ribu ton
setiap tahunnya. Berbagai jenis ikan dihasilkan dari sentra perikanan air tawar
ini, mulai dari ikan mas, patin, nila, dan Di sana, ikan-ikan dibudidayakan
dengan sistem keramba jarring apung. Peranannya menjadi sangat vital bagi
pasokan ikan nasional. Bahkan, waduk ini menjadi salah satu sumber mata pencaharian
penduduk sekitar.
Bagi Jawa Barat, waduk ini memiliki peranan penting dalam
menyumbang pasokan perikanan air tawar. Sebagai gambaran, produksi ikan mas di
tahun 2013, Jawa Barat menghasilkan 40,5% dari produksi nasional dengan total
produksi 167.390 ton. Sementara itu, provinsi ini juga menjadi lumbung produksi
ikan nila paling tinggi dengan kapasitas produksi 205.951 ton dari total
produksi nasional 909.016 ton. Dua jenis ikan ini menjadikan Jawa Barat sebagai
provinsi yang memiliki produktivitas tertinggi menurut data yang dirilis oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Prestasi ini tentu tidak
terlepas dari keberadaan waduk Jatiluhur yang menjadi penyokong produktivitas
perikanan budidaya Jawa Barat.
Namun, reputasinya sebagai sentra perikanan air tawar
terancam kian hari. Pasalnya, setiap tahun, menurut pengakuan Ah Liong, salah
satu pembudidaya ikan di waduk tersebut, fenomena kematian massal hampir selalu
terjadi. Kejadian ini tidak hanya menghantam para pembudidaya, pasokan ikan air
tawar pun mengalami goncangan. Jumlah kerugian yang diderita bisa mencapai
milyaran rupiah. Penyebabnya tidak lain karena adanya fenomena arus balik massa
air, yang lebih dikenal dengan istilah upwelling.
Fenomena arus balik
massa air
Fenomena arus balik atau upwelling,
pada lingkungan perairan, baik itu di laut maupun perairan tawar, bahkan payau
merupakan peristiwa alam yang terjadi
secara alamiah. Upwelling atau
arus balik massa air terjadi ketika ada perbedaan suhu dalam perairan, antara
suhu air di permukaan (bagian atas) dengan suhu air yang berada di dasar danau.
Ketika terjadi penurunan suhu udara, misalnya ketika peralihan musim dari musim
kemarau ke penghujan, suhu udara turun. Kondisi ini juga terjadi ketika cuaca
dalam kondisi mendung dan tanpa matahari. Akibatnya, suhu permukaan air turun.
Akibat dari perbedaan suhu air ini, terjadi arus air dari
dasar laut ke permukaan. Fenomena ini tidaklah mengherankan, mengingat air yang
bersuhu yang lebih rendah memiliki densitas yang lebih tinggi daripada air yang
bersuhu hangat. Sehingga air dingin akan tenggelam, sebaliknya air yang lebih
hangat akan terapung ke arah permukaan.
Di perairan laut, fenomena upwelling menciptakan kondisi
permukaan air yang kaya akan nutrient bagi ikan. sehingga, di tempat-tempat
tersebut, banyak terdapat fitoplankton yang tumbuh subur. Makanan alami pun
melimpah sehingga di daerah ini akan ditemui banyak ikan.
Upwelling di waduk Jatiluhur
Fenomena upwelling,
seperti yang diungkapkan oleh pakar perikanan, Dr. Ir. Edward Danakusuma, M.Sc,
di Cirata dan Jatiluhur merupakan dampak dari perubahan cuaca. Ia memaparkan,
angin yang bertiup dari arah selatan berasal dari Samudera Hindia, bergerak
melewati pegunungan Bandung selatan. Ketika melewati pegunungan ini, suhu angin
menjadi semakin dingin. Lantas, angin ini akan turun melalui perbukitan dan
berkumpul di sekitar permukaan badan air. Ditambah lagi kondisi cuaca mendung
selama tiga hari berturut-turut. Selanjutnya, papar dosen perikanan Universitas
Satya Negara itu, kondisi ini akan memicu penurunan suhu permukaan air waduk.
Sementara itu, suhu air yang berada di dasar waduk, masih relatif hangat.
Secara alamiah, air dari permukaan ini akan segera bergerak ke dasar waduk.
Sementara itu, posisi air yang berada di dasar waduk yang bersuhu lebih tinggi
akan bergerak ke arah permukaan.
Celakanya, air yang berada di dasar danau miskin akan
kandungan oksigen. “Saya mengambil sampel air dari kedalaman 0 hingga 3 m
setelah terjadi upwelling. Kandungan
oksigennya nol,” papar Edward. Sementara itu, sampel air yang diambil lebih
dalam, akibat proses upwelling ini,
memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi karena berasal dari air yang ada
di permukaan. “pada kedalaman 4 – 7 m, kandungan oksigennya mencapai 4 ppm,
cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan,” ungkap peneliti yang pernah
menjabat ketua MAI ini.
Air yang berasal dari dasar waduk kaya akan residu organic,
yang berasal dari sisa-sisa pakan yang menumpuk. Ketika terjadi upwelling, massa organic ini akan naik
mengikuti arah arus air. Ketika terjadi demikian, kandungan ammonia, nitrit,
dan nitrat akan menyuburkan mikroflora, seperti fitoplankton. Sehingga, pakan
alami ikan melimpah. “Pada proses upwelling,
penyebab kematian ikan lebih karena akibat ketiadaan oksigen, bukan karena
teraduknya kandungan ammonia, nitrit, dan nitrat yang mencuat ke atas,” terang
Edward.
Ikan yang dibudidayakan di dua waduk tersebut dipelihara
dalam sekat-sekat keramba jaring apung. Kedalaman jaringnya hanya mencapai
rata-rata 4 meter. Dalam kondisi seperti ini, ikan terkurung di permukaan.
Ketika upwelling terjadi, mereka tak
bisa beralih tempat lain yang kaya kandungan oksigennya. Akibatnya, ikan akan
mengalami kekurangan oksigen dan kematian massal ikan budidaya tak terelakkan.
Dalam lingkungan mikro, menurut Edward, seperti di akuarium
atau kolam berukuran kecil, senyawa ini menjadi racun bagi ikan. Namun, untuk
kasus perairan yang luas, seperti waduk atau danau, keberadaan senyawa Nitrogen
ini dimanfaatkan dan diserap oleh mikroflora, misalnya fitoplankton.
Mengenai kapan terjadinya fenomena upwelling, Edward menjawab tidak bisa dipastikan. “Yang jelas,
ketika orang-orang di sekitar waduk sudah mengenakan jaket,
bendera-bendera berkibar ke arah utara.
Ini berarti, angin bertiup dari selatan. Ditambah mendung selama tiga hari
berturut-turut, siap-siaplah bakal terjadi upwelling,”
terangnya panjang lebar.
Akan tetapi, jika hari cerah, upwelling kemungkinan besar tidak akan terjadi. Pasalnya, dengan
keberadaan sinar matahari, fitoplankton bisa melangsungkan proses fotosintesis.
Dari aktivitas fotosintesis mikroflora ini, akan dihasilkan gas oksigen dan
ikan akan memanfaatkannya.
Kejadian yang sulit diprediksi ini tentu saja sangat memukul
sering menghantui pembudidaya dan penggiat akuakultur di sekitar waduk.
Sehingga, kondisi ini bisa menggoyahkan rantai pasokan ikan budidaya air tawar.
Tak tanggung-tanggung, menurut Edward, kematian ikan di waduk Cirata, Jawa
Barat, bisa mencapai 67.000 ton untuk tahun 2014. Jumlah yang sangat fantastis.
Sementara itu, untuk di waduk Jatiluhur, kasus upwelling bisa memakan korban 1000 ton ikan yang mati dengan
kerugian mencapai milyaran rupiah.
Blooming populasi fitoplankton
Sementara
itu, menurut salah seorang peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof. Endi Kartamihardja, fenomena upwelling yang terjadi di Waduk Jatiluhur karena adanya cuaca yang
ekstrem. hal ini bisa ditengarai dengan cuaca yang mendung berkepanjangan dan
hujan gerimis yang terus-menerus tanpa adanya sinar matahari selama
berhari-hari. Akibatnya, akan terjadi perbedaan suhu di air di permukaan dan
dasar waduk yang pada akhirnya ‘umbalan’ terangkat dari
dasar. Massa air yang berwarna hitam ini mengandung senyawa-senyawa
beracun bagi ikan antara lain ammonia, nitrit, metana, dan H2S.
Dampaknya, kematian ikan massal pun terjadi.
Melimpahnya senyawa-senyawa yang berasal
dari penguraian bahan organic merukana nutrient bagi mikrofola. Sehingga,
konsentrasi yang tinggi senyawa-senyawa ini menyebabkan meledaknya populasi
filoplankton dalam perairan. Kehadiran mikroflora ini menjadi pakan alami bagi
ikan-ikan yang memangsa plankton. Namun, ketiadaan sinar matahari selama
beberapa hari berturut-turut akan menyebabkan proses fotosintesis tanaman mikro
tersebut tersendat, bahkan terhenti. Akibatnya, terjadi kematian massal
fitoplankton.
Tentu saja, setelah mati, lautan bahan
organik ini akan mengalami penguraian oleh mikroba. Proses penguraian ini
secara langsung membutuhkan pasokan oksigen dari dalam air. Akibatnya,
kebutuhan oksigen biologis akan meningkat drastis. Di lain pihak ikan pun
membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga, kondisi minimnya
oksigen terlarut dalam air, terhentinya proses fotosintesis fitoplankton, dan
meningkatnya kebutuhan oksigen biologis untuk proses penguraian bahan organik
semakin memperparah kondisi perairan.
Langkah
penanggulangan
Fenomena upwelling
merupakan kejadian alam, sehingga, sulit untuk dicegah. Adapun Ketika ditanya
mengenai pengendalian dan penanganannya, Edward menyarankan untuk melakukan
penambahan oksigen. “Tabung oksigen diberi selang melalui regulator dan
dimasukkan ke dalam air,” ungkapnya. Menurutnya,teknik ini terbilang murah jika
dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung akibat kematian ikan massal. “
“satu tabung oksigen bisa dipakai selama 5 x 24 jam dengan
bantuan pembentuk gelembung udara. Usahakan agar pembentuk gelembung udara
berlubang-lubang berukuran halus untuk meningkatkan daya larut oksigen dalam
air.” Ukuran lubang gelembung yang terlalu besar menghasilkan gelembung udara
yang besar. “Akibatnya, oksigen akan mudah menguap ke udara sebelum larut dalam
air,” tambahnya.
Di kawasan waduk Jatiluhur, pemerintah pernah melakukan
penebaran bandeng dalam kurun waktu 2008 – 2010. Usaha ini membuahkan hasil
dengan tidak terjadinya kematian massal. Pasalnya, bandeng merupakan ikan yang
memakan fitoplankton. Dengan demikian, meledaknya populasi plankton bisa
ditekan dengan keberadaan ikan ini.
Di samping itu, ada beberapa jenis ikan lain yang dikenal
sebagai pemakan plankton selain bandeng, yaitu mola, tambakan, nila dan sepat.
Sementara itu, pihak pemerintah pun melakukan beberapa
langkah mitigasi untuk mengurangi dampak terjadinya kematian massal ini.
Beberapa di antaranya adalah dengan memberikan peringatan kepada para
pembudidaya perihal tanda-tanda akan terjadinya arus balik air. Selanjutnya,
pemerintah tengah melakukan penertiban keramba jaring apung yang beroperasi.
Pasalnya, jumlahnya sudah jauh melebihi daya dukung waduk. Selain itu, KKP
mengimbau kepada para pembudidaya untuk melakukan panen dini ketika muncul
tanda-tanda upwelling akan terjadi. Langkah selanjutnya, adalah jika kematian
sudah tak bisa dihindari, pemerintah menyediakan teknologi pengolahan ikan yang
mati sebagai upaya mitigasi pasca kematian massal terjadi (noerhidajat).selanjutnya: pengolahan limbah organik
No comments:
Post a Comment