Wednesday, August 10, 2016

Fenomena Arus Balik Danau

Waduk Jatiluhur, Purwakarta menjadi salah satu dari sentra produksi ikan air tawar di Indonesia. Luas danau buatan yang dibangun era pemerintahan presiden Ir. Soekarno ini, menggenangi area 4.500 km2, menjadikannya waduk terluas tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.

Terletak di antara Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung, waduk multiguna ini memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah sebagai pembangkit listrik tenaga air, sumber air irigasi, objek pariwisata, bahkan sebagai sarana latihan atlet dayung nasional.

Sebagai sentra perikanan air tawar di Jawa Barat bahkan Indonesia, waduk Jatiluhur menghasilkan ikan konsumsi tak kurang 100 ribu ton setiap tahunnya. Berbagai jenis ikan dihasilkan dari sentra perikanan air tawar ini, mulai dari ikan mas, patin, nila, dan Di sana, ikan-ikan dibudidayakan dengan sistem keramba jarring apung. Peranannya menjadi sangat vital bagi pasokan ikan nasional. Bahkan, waduk ini menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk sekitar.

Bagi Jawa Barat, waduk ini memiliki peranan penting dalam menyumbang pasokan perikanan air tawar. Sebagai gambaran, produksi ikan mas di tahun 2013, Jawa Barat menghasilkan 40,5% dari produksi nasional dengan total produksi 167.390 ton. Sementara itu, provinsi ini juga menjadi lumbung produksi ikan nila paling tinggi dengan kapasitas produksi 205.951 ton dari total produksi nasional 909.016 ton. Dua jenis ikan ini menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi yang memiliki produktivitas tertinggi menurut data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Prestasi ini tentu tidak terlepas dari keberadaan waduk Jatiluhur yang menjadi penyokong produktivitas perikanan budidaya Jawa Barat.

Namun, reputasinya sebagai sentra perikanan air tawar terancam kian hari. Pasalnya, setiap tahun, menurut pengakuan Ah Liong, salah satu pembudidaya ikan di waduk tersebut, fenomena kematian massal hampir selalu terjadi. Kejadian ini tidak hanya menghantam para pembudidaya, pasokan ikan air tawar pun mengalami goncangan. Jumlah kerugian yang diderita bisa mencapai milyaran rupiah. Penyebabnya tidak lain karena adanya fenomena arus balik massa air, yang lebih dikenal dengan istilah upwelling.

Fenomena arus balik massa air

Fenomena arus balik atau upwelling, pada lingkungan perairan, baik itu di laut maupun perairan tawar, bahkan payau merupakan peristiwa alam yang terjadi  secara alamiah. Upwelling atau arus balik massa air terjadi ketika ada perbedaan suhu dalam perairan, antara suhu air di permukaan (bagian atas) dengan suhu air yang berada di dasar danau. Ketika terjadi penurunan suhu udara, misalnya ketika peralihan musim dari musim kemarau ke penghujan, suhu udara turun. Kondisi ini juga terjadi ketika cuaca dalam kondisi mendung dan tanpa matahari. Akibatnya, suhu permukaan air turun.

Akibat dari perbedaan suhu air ini, terjadi arus air dari dasar laut ke permukaan. Fenomena ini tidaklah mengherankan, mengingat air yang bersuhu yang lebih rendah memiliki densitas yang lebih tinggi daripada air yang bersuhu hangat. Sehingga air dingin akan tenggelam, sebaliknya air yang lebih hangat akan terapung ke arah permukaan.

Di perairan laut, fenomena upwelling menciptakan kondisi permukaan air yang kaya akan nutrient bagi ikan. sehingga, di tempat-tempat tersebut, banyak terdapat fitoplankton yang tumbuh subur. Makanan alami pun melimpah sehingga di daerah ini akan ditemui banyak ikan.

Upwelling di waduk Jatiluhur

Fenomena upwelling, seperti yang diungkapkan oleh pakar perikanan, Dr. Ir. Edward Danakusuma, M.Sc, di Cirata dan Jatiluhur merupakan dampak dari perubahan cuaca. Ia memaparkan, angin yang bertiup dari arah selatan berasal dari Samudera Hindia, bergerak melewati pegunungan Bandung selatan. Ketika melewati pegunungan ini, suhu angin menjadi semakin dingin. Lantas, angin ini akan turun melalui perbukitan dan berkumpul di sekitar permukaan badan air. Ditambah lagi kondisi cuaca mendung selama tiga hari berturut-turut. Selanjutnya, papar dosen perikanan Universitas Satya Negara itu, kondisi ini akan memicu penurunan suhu permukaan air waduk. Sementara itu, suhu air yang berada di dasar waduk, masih relatif hangat. Secara alamiah, air dari permukaan ini akan segera bergerak ke dasar waduk. Sementara itu, posisi air yang berada di dasar waduk yang bersuhu lebih tinggi akan bergerak ke arah permukaan.

Celakanya, air yang berada di dasar danau miskin akan kandungan oksigen. “Saya mengambil sampel air dari kedalaman 0 hingga 3 m setelah terjadi upwelling. Kandungan oksigennya nol,” papar Edward. Sementara itu, sampel air yang diambil lebih dalam, akibat proses upwelling ini, memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi karena berasal dari air yang ada di permukaan. “pada kedalaman 4 – 7 m, kandungan oksigennya mencapai 4 ppm, cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan,” ungkap peneliti yang pernah menjabat ketua MAI ini.

Air yang berasal dari dasar waduk kaya akan residu organic, yang berasal dari sisa-sisa pakan yang menumpuk. Ketika terjadi upwelling, massa organic ini akan naik mengikuti arah arus air. Ketika terjadi demikian, kandungan ammonia, nitrit, dan nitrat akan menyuburkan mikroflora, seperti fitoplankton. Sehingga, pakan alami ikan melimpah. “Pada proses upwelling, penyebab kematian ikan lebih karena akibat ketiadaan oksigen, bukan karena teraduknya kandungan ammonia, nitrit, dan nitrat yang mencuat ke atas,” terang Edward.

Ikan yang dibudidayakan di dua waduk tersebut dipelihara dalam sekat-sekat keramba jaring apung. Kedalaman jaringnya hanya mencapai rata-rata 4 meter. Dalam kondisi seperti ini, ikan terkurung di permukaan. Ketika upwelling terjadi, mereka tak bisa beralih tempat lain yang kaya kandungan oksigennya. Akibatnya, ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan kematian massal ikan budidaya tak terelakkan.

Dalam lingkungan mikro, menurut Edward, seperti di akuarium atau kolam berukuran kecil, senyawa ini menjadi racun bagi ikan. Namun, untuk kasus perairan yang luas, seperti waduk atau danau, keberadaan senyawa Nitrogen ini dimanfaatkan dan diserap oleh mikroflora, misalnya fitoplankton.

Mengenai kapan terjadinya fenomena upwelling, Edward menjawab tidak bisa dipastikan. “Yang jelas, ketika orang-orang di sekitar waduk sudah mengenakan jaket, bendera-bendera  berkibar ke arah utara. Ini berarti, angin bertiup dari selatan. Ditambah mendung selama tiga hari berturut-turut, siap-siaplah bakal terjadi upwelling,” terangnya panjang lebar.

Akan tetapi, jika hari cerah, upwelling kemungkinan besar tidak akan terjadi. Pasalnya, dengan keberadaan sinar matahari, fitoplankton bisa melangsungkan proses fotosintesis. Dari aktivitas fotosintesis mikroflora ini, akan dihasilkan gas oksigen dan ikan akan memanfaatkannya.

Kejadian yang sulit diprediksi ini tentu saja sangat memukul sering menghantui pembudidaya dan penggiat akuakultur di sekitar waduk. Sehingga, kondisi ini bisa menggoyahkan rantai pasokan ikan budidaya air tawar. Tak tanggung-tanggung, menurut Edward, kematian ikan di waduk Cirata, Jawa Barat, bisa mencapai 67.000 ton untuk tahun 2014. Jumlah yang sangat fantastis. Sementara itu, untuk di waduk Jatiluhur, kasus upwelling bisa memakan korban 1000 ton ikan yang mati dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.

Blooming populasi fitoplankton

Sementara itu, menurut salah seorang peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof. Endi Kartamihardja, fenomena upwelling yang terjadi di Waduk Jatiluhur karena adanya cuaca yang ekstrem. hal ini bisa ditengarai dengan cuaca yang mendung berkepanjangan dan hujan gerimis yang terus-menerus tanpa adanya sinar matahari selama berhari-hari. Akibatnya, akan terjadi perbedaan suhu di air di permukaan dan dasar waduk yang pada akhirnya ‘umbalan’ terangkat dari dasar. Massa air yang berwarna hitam ini mengandung senyawa-senyawa beracun bagi ikan antara lain ammonia, nitrit, metana, dan H2S. Dampaknya, kematian ikan massal pun terjadi.

Melimpahnya senyawa-senyawa yang berasal dari penguraian bahan organic merukana nutrient bagi mikrofola. Sehingga, konsentrasi yang tinggi senyawa-senyawa ini menyebabkan meledaknya populasi filoplankton dalam perairan. Kehadiran mikroflora ini menjadi pakan alami bagi ikan-ikan yang memangsa plankton. Namun, ketiadaan sinar matahari selama beberapa hari berturut-turut akan menyebabkan proses fotosintesis tanaman mikro tersebut tersendat, bahkan terhenti. Akibatnya, terjadi kematian massal fitoplankton.

Tentu saja, setelah mati, lautan bahan organik ini akan mengalami penguraian oleh mikroba. Proses penguraian ini secara langsung membutuhkan pasokan oksigen dari dalam air. Akibatnya, kebutuhan oksigen biologis akan meningkat drastis. Di lain pihak ikan pun membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga, kondisi minimnya oksigen terlarut dalam air, terhentinya proses fotosintesis fitoplankton, dan meningkatnya kebutuhan oksigen biologis untuk proses penguraian bahan organik semakin memperparah kondisi perairan.

Langkah penanggulangan

Fenomena upwelling merupakan kejadian alam, sehingga, sulit untuk dicegah. Adapun Ketika ditanya mengenai pengendalian dan penanganannya, Edward menyarankan untuk melakukan penambahan oksigen. “Tabung oksigen diberi selang melalui regulator dan dimasukkan ke dalam air,” ungkapnya. Menurutnya,teknik ini terbilang murah jika dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung akibat kematian ikan massal. “

“satu tabung oksigen bisa dipakai selama 5 x 24 jam dengan bantuan pembentuk gelembung udara. Usahakan agar pembentuk gelembung udara berlubang-lubang berukuran halus untuk meningkatkan daya larut oksigen dalam air.” Ukuran lubang gelembung yang terlalu besar menghasilkan gelembung udara yang besar. “Akibatnya, oksigen akan mudah menguap ke udara sebelum larut dalam air,” tambahnya.

Di kawasan waduk Jatiluhur, pemerintah pernah melakukan penebaran bandeng dalam kurun waktu 2008 – 2010. Usaha ini membuahkan hasil dengan tidak terjadinya kematian massal. Pasalnya, bandeng merupakan ikan yang memakan fitoplankton. Dengan demikian, meledaknya populasi plankton bisa ditekan dengan keberadaan ikan ini.

Di samping itu, ada beberapa jenis ikan lain yang dikenal sebagai pemakan plankton selain bandeng, yaitu mola, tambakan, nila dan sepat.
Sementara itu, pihak pemerintah pun melakukan beberapa langkah mitigasi untuk mengurangi dampak terjadinya kematian massal ini. Beberapa di antaranya adalah dengan memberikan peringatan kepada para pembudidaya perihal tanda-tanda akan terjadinya arus balik air. Selanjutnya, pemerintah tengah melakukan penertiban keramba jaring apung yang beroperasi. Pasalnya, jumlahnya sudah jauh melebihi daya dukung waduk. Selain itu, KKP mengimbau kepada para pembudidaya untuk melakukan panen dini ketika muncul tanda-tanda upwelling akan terjadi. Langkah selanjutnya, adalah jika kematian sudah tak bisa dihindari, pemerintah menyediakan teknologi pengolahan ikan yang mati sebagai upaya mitigasi pasca kematian massal terjadi (noerhidajat).

selanjutnya: pengolahan limbah organik

No comments:

Post a Comment