Saturday, December 3, 2016

Zeolit untuk Proses Pengolahan Air Tanah

Air merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Air memiliki banyak fungsi dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, industri, maupun untuk lingkungan.

Permasalahan yang umum terjadi di Indonesia adalah ketersediaan sumber air bersih yang terbatas, terutama di daerah-daerah yang memiliki kandungan air tanah yang kurang bagus, di antaranya adalah daerah gambut dan berawa, seperti sebagian daerah Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS) 1985, diketahui pola penggunaan air masyarakat Indonesia. Dari hasil tersebut, sebanyak 10,77 % masyarakat Indonesia memperoleh air dari air ledeng, sebanyak 7,85% dari air tanah dengan menggunakan pompa air, air sumur (perigi) sebanyak 53,78 %, mata air (air sumber) 15,70 %, air sungai 8,54 %, air hujan 1,64 % dan lainnya 1,71 %.
Dari pola penggunaan air tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa penggunaan sumber air tanah di masyarakat masih sangat dominan. Hal itu dapat diketahui dari persentase masyarakat yang menggunakan air dari sumur dan pompa air dari air tanah. Namun, permasalahannya, kualitas air sungai dan tanah di Indonesia sangat bervariasi. Di beberapa tempat, sering ditemukan bahwa kualitas air tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai air minum.
Padahal, untuk dapat dijadikan sebagai air minum, air tanah harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan supaya tidak menyebabkan sakit bagi orang yang mengonsumsinya. Persyaratan tersebut tertuang dalam baku mutu air minum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990.

Tingkat kekeruhan
Tingkat kekeruhan air merupakan salah satu indikator adanya padatan yang tersuspensi di dalam air. Air dengan tingkat kekeruhan yang tinggi menandakan kualitas yang rendah sehingga tidak baik untuk dijadikan sebagai sumber air minum. Padatan yang tersuspensi (suspended solid) dapat berupa lumpur, tanah, atau zat padat lain yang tidak larut dalam air akan tetapi memiliki ukuran partikel yang kecil, maksimum 2 µm dan lebih besar dari ukuran partikel koloid.
Dalam proses pengolahan air, kandungan zat tersuspensi ini dapat dipisahkan dengan menggunakan proses pengendapan. Proses ini menggunakan prinsip gaya gravitasi, di mana partikel yang tersuspensi yang memiliki densitas lebih besar daripada air akan mengendap. Selain itu, proses pemisahan materi tersuspensi dapat dilakukan dengan proses penyaringan saringan pasir. Syaratnya, pori-pori bahan yang dijadikan penapis harus lebih kecil dari ukuran material tersuspensi tersebut. sehingga, partikel tersebut akan tertahan sementara air dapat diloloskan.

Kandungan zat terlarut
Di antara sejumlah zat terlarut dalam air, zat besi dan mangan merupakan beberapa unsur yang sering ditemukan dalam air tanah. Zat besi ditemukan dalam bentuk ion Fe terlarut dalam air tanah. Kandungan besi dalam air dapat meyebabkan warna kuning dan bau yang kurang enak. Jika digunakan untuk mencuci, warna tersebut akan membekas terutama pada pakaian putih berupa bercak-bercak kuning.
Berdasarkan baku mutu air yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersebut, kadar zat besi dalam air minum maksimum dalam rentang 0,3 mg/L. sementara itu, kandungan zat mangan dibatasi maksimal 0,1 mg/L. Di dalam air, besi atau mangan terlarut dalam bentuk garam bikarbonat, garam sulfat, hidroksida, dalam bentuk koloid, atau bentuk yang tergabung dengan zat organik lain.
Zat besi yang terlarut di dalam air salah satunya dapat dihilangkan dengan cara oksidasi. Garam ferro bikarbonat ketika teroksidasi dengan udara kelarutannya akan berkurang di dalam air sehingga akan mengendap. Oleh karena itu, pada metode ini, teknik aerasi terhadap air yang dioleh kerap dilakukan. Proses aerasi dapat diterapkan dengan memasukkan gelembung-gelembung udara halus ke dalam air dengan pompa.
Di samping menurunkan kualitas air, kandungan besi dan mangan terlarut juga dapat menyebabkan air menjadi bau. Sehingga, bau sangat mengganggu ketika air tersebut dijadikan air minum. Tidak hanya itu, bau pada air juga dapat disebabkan oleh karena adanya pencemar bahan organik.

Pengolahan air dengan proses aerasi
Proses aerasi dapat mengoksidasi kandungan besi dan mangan yang terlarut dalam air. Secara alami, senyawa bikarbonat cenderung lebih tidak stabil dibandingkan dengan senyawa karbonat. Oleh karena itu, besi dalam bentuk Fe(HCO3)2 akan berubah menjadi bentuk ferro karbonat.

Fe(HCO3)==> FeCO3 + CO2 + H2O
Mn(HCO3)==> MnCO3 + CO2 + H2O

Ketika udara berkurang (kandungan CO2 menurun), kesetimbangan reaksi akan condong ke kanan. Reaksinya dapat dijabarkan sebagai berikut:

FeCO3 + CO==> Fe(OH)2 + CO2
MnCO3 + CO2 ==> Mn(OH)2 + CO2

Senyawa besi di atas, yaitu hidroksida besi (II), (Fe(OH)2 dan mangano hidroksida, Mn(OH)2 masih mempunyai kelarutan yang cukup besar di dalam air. Sehingga, proses pemisahan masih sulit dilakukan. Namun, jika aerasi terus dilakukan, reaksi akan terus berlanjut menjadi:

 4 Fe2+ + O2 + 10 H2==>4 Fe(OH)3 + 8 H+
 2 Mn2+ + O2 + 2 H2==> 2 MnO2 + 4 H+

Pada reaksi tersebut, baik senyawa ferro (III) hidroksida, Fe(OH)3 maupun MnO2 merupakan senyawa berbentuk padat dan tidak larut di dalam air sehingga mudah dipisahkan pada proses penyaringan.

Penggunaan zeolit untuk pengolahan air
Bahan zeolit sudah lama diketahui mampu memiliki kapasitas penukar ion. Sehingga, penggunaan batuan ini dalam proses penyaringan air dapat mengendapkan larutan besi dan mangan dalam air sehingga mudah untuk disaring/ diendapkan. Prosesnya yaitu dengan cara mengoksidasi kation besi sehingga larutan berubah menjadi senyawa garam besi dan mudah mengendap. Reaksi kimianya dapat dijabarkan sebagai berikut:

Na2Z + Fe(HCO3)2 ==> FeZ + 2 Na(HCO3)
Na2Z + Mn(HCO3)2 ==> MnZ + 2 Na(HCO3)



Zeolit untuk pengolahan air yang mengandung ion besi dan mangan (www.cerita dan ilmu.net)

Fe(HCO3)2 merupakan senyawa ferro bikarbonat yang mudah larut di dalam air, begitu pun juga dengan senyawa Mn(HCO3)2, mangano bikarbonat. Dengan adanya proses pertukaran ion yang dilakukan oleh media zeolite, senyawa tersebut berubah menjadi FeZ dan MnZ yang merupakan senyawa padat (garam) sehingga akan mengendap ketika di dalam air.



Tuesday, November 29, 2016

Proses pemisahan air dan minyak dalam air limbah

Proses produksi, aktivitas rumah tangga menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar. Sebagai produk samping, keberadaan limbah tidak dikehendaki. Pada proses produksi, limbah memerlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Setelah air limbah tersebut memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan, limbah dapat dibuang langsung karena dianggap sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


Salah satu industri dan kegiatan yang menghasilkan air limbah dalam jumlah yang cukup besar antara lain adalah aktivitas pengilangan minyak bumi. Air limbah ini berasal dari proses pemompaan minyak dari sumur menuju ke permukaan tanah. Air digunakan dalam proses tersebut antara lain digunakan sebagai ‘injector’ dalam proses enhanced oil recovery (EOR). Proses ini dilakukan pada sumur-sumur minyak yang sudah tua dimana kandungan minyak dalam reservoir sudah jauh menurun dari cadangan minyak sebelum proses eksploitasi. Tak jarang, proses penyuntikan air ke dalam reservoir tersebut disertai dengan sejenis senyawa surfaktan. Senyawa ini berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan minyak sehingga viskositas minyak turun dan mudah mengalir.


Proses injeksi air dalam enhanced oil recovery (EOR)

Dalam proses injection (penyuntikan) menggunakan air, air didorong ke dalam sumur injector menuju reservoir yang mengandung minyak. Hal ini dilakukan agar minyak yang terdapat di dalam pori-pori batuan terdorong keluar untuk selanjutnya dapat disedot oleh pompa minyak. Dengan penyuntikan minyak ke dalam reservoir, tekanan minyak di dalam batuan tersebut akan dijaga tetap stabil sehingga memudahkan proses naiknya minyak melalui pipa menuju permukaan tanah.

Proses pemisahan minyak dan air
Pada dasarnya, minyak bumi (hidrokarbon) merupakan senyawa yang tidak polar dan tidak larut di dalam air. Minyak dan air merupakan dua fluida yang tidak bisa menyatu (immiscible fluid). Karena tingkat kerapatan jenis yang berbeda, minyak dan air akan berada pada posisi yang berbeda. Mengingat minyak memiliki densitas yang lebih rendah daripada air, minyak akan selalu mengapung di air.

Sebagian besar limbah yang dihasilkan dari proses produksi minyak berupa campuran minyak dan air, dengan fase kontinyunya adalah air. Sementara itu, minyak merupakan zat yang terdispersi. Perbedaan ukuran partikel minyak yang terdispersi di dalam air menyebabkan perlakuan yang berbeda. Sebagai contoh, partikel minyak yang berukuran besar dapat dipisahkan dari air dengan menggunakan alat API (American Petroleum Institute) separator. Alat ini akan efektif untuk partikel minyak yang berukuran minimal 150 um. Sementara itu, partikel yang lebih kecil harus menggunakan metode atau teknik lain, di antaranya adalah flotation, pemisahan melalui membrane.
Pemisahan yang paling sulit adalah ketika ukuran minyak yang terdispersi sangat kecil, di bawah ukuran 20 um, bahkan 5 um. Minyak ini dapat menjadi teremulsi di dalam air, bahkan menjadi minyak yang terlarut.  


Ukuran partikel gelembung minyak yang terdispersi dalam air

API separator
API separator menggunakan prinsip gaya gravitasi dalam proses pemisahan minyak dan air. Alat ini, pada praktiknya, tidak hanya berfungsi untuk memisahkan minyak dan air, akan tetapi memisahkan padatan tersuspensi dari air limbah. Dalam alat tersebut, terdapat dua bagian, yaitu inlet dan outlet. Limbah yang mengandung minyak terdispersi dimasukkan ke dalam alat melalui saluran inlet. Sementara itu, air limbah yang telah mengalami pengolahan akan dikeluarkan melalui saluran outlet. Di dalam alat tersebut, di pasang beberapa lempeng logam yang berfungsi untuk menggabungkan partikel-partikel/ gelembung-gelembung minyak yang berukuran kecil (coalescence). Semakin besar ukuran gelembung minyak, semakin cepat pula minyak tersebut bergerak ke permukaan air. Sehingga, minyak yang berukuran kecil akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai permukaan air. Dengan demikian, partikel minyak yang berukuran kecil akan menyulitkan proses pemisahan.



API separator

Prinsip kerja API separator menggunakan hukum Stokes, yang menyatakan bahwa rise of velocity (laju pergerakan naik) sebuah gelembung minyak bergantung pada ukuran gelembung, densitas, dan karakteristik air.




Dimana,
  • v  = kecepatan gerak naik (cm/s)
  • g  = konstanta gravitasi 
  • D = diameter gelembung minyak (cm)
  • μL= viskositas air

Dari persamaan Stokes di atas, dapat diketahui bahwa kecepatan gerak naik berbanding lurus dengan kuadrat diameter gelembung minyak. Oleh karena itu, semakin besar diameter partikel minyak, semakin cepat pula partikel minyak tersebut bergerak menuju permukaan air. Selanjutnya, kecepatan gerak naik minyak juga dipengaruhi oleh viskositas fluida fase kontinyu, dalam hal ini adalah air. Dengan demikian, untuk mempercepat gerak partikel minyak, viskositas air harus diturunkan. Salah satu cara untuk menurunkan nilai viskositas air adalah dengan menaikkan suhu. Sehingga, dalam praktiknya, penggunaan panas untuk menaikkan suhu air diperlukan.

Dengan dioperasikannya alat tersebut, air limbah akan terpisah menjadi tiga bagian besar, yaitu material padat yang tersuspensi, yang akan mengendap di bagian dasar alat. Bagian yang kedua adalah lapisan minyak yang berada di permukaan air. Selanjutnya, yang terakhir adalah air yang sudah terbebas dari partikel minyak dan zat padat.

Meskipun demikian, alat ini mempunyai keterbatasan. Tidak semua partikel minyak dapat terpisahkan dari air. Gelembung-gelembung minyak yang berukuran halus akan sangat sulit untuk dipisahkan. Sehingga, proses pemisahan berikutnya memerlukan metode lain, di antaranya adalah metode flotation atau metode pemisahan menggunakan membrane (noerhidajat) 


selanjutnya: Dissolved air flotation

Wednesday, August 10, 2016

Aquaponik, sekayuh dua keuntungan

Siapa yang tak kenal dengan hidroponik? Siapa pula yang tak kenal dengan akuakultur? Hidroponik sudah lama dikenal dalam budidaya tanaman. Sistem ini seringkali dipraktekkan untuk menyiasati keterbatasan lahan. Sementara itu, akuakultur merupakan sistem budidaya perikanan. Keduanya bisa digabungkan menjadi satu sistem. Lantas bagaimanakah caranya?
Hidroponik merupakan sistem budidaya tanaman yang sudah lama dikenal, terutama pada cocok tanam di dalam rumah kaca. Tak seperti sistem pertanian konvensional, sistem hidroponik tidak memerlukan media tanah sebagai media tumbuh tanaman. Meskipun demikian, tanaman tetap memerlukan nutrisi untuk menunjang pertumbuhannya. Alternatifnya, karena tanaman tidak memperoleh zat hara dari tanah, mereka menyerap unsur hara dari substrat yang digunakan sebagai media tumbuh hidroponik. Sementara itu, substrat yang digunakan sebagai media tumbuh tidak seperti tanah yang mengandung zat hara. Pada umumnya, media tumbuh hidroponik merupakan substrat yang miskin hara, misalnya serbuk arang, serpihan batu bata, arang sekam, dan lain-lain. Sehingga, pasokan hara untuk tanaman dijamin oleh air yang digunakan untuk mengairi perakaran tanaman.
Sementara itu, dalam melangsungkan kehidupannya, ikan melakukan proses metabolisme. Dari proses tersebut, ikan menghasilkan energi untuk beraktivitas, memperoleh nutrisi untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Seperti halnya manusia, dari proses tersebut, ikan akan menghasilkan zat-zat sisa, yang berupa cairan (urin) maupun zat padat (kotoran, feces). Cairan urin mengandung sejumlah senyawa ammonia dengan konsentrasi tertentu. Sedangkan feces ikan yang merupakan bahan organic, akan terurai oleh mikroorganisme dalam air dan selanjutnya menjadi senyawa ammonia. Zat-zat ini merupakan racun bagi ikan dan akan dibuang ke lingkungan hidupnya, baik melalui eksresi maupun defekasi.
Prinsip saling memberi
Kebutuhan nutrisi utama tanaman merupakan unsur nitrogen yang diperoleh dari akar, kemudian disalurkan ke seluruh bagian tumbuhan. Di dalam air, unsur nitrogen ini terikat dalam senyawa nitrogen, antara lain nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan sebagian ammonia (NH3) yang terlarut dalam air. Sementara itu, dalam proses fotosintesis, tanaman mengikat gas zat asam arang (karbodioksida) dari udara, untuk direaksikan dengan air, membentuk senyawa karbohidrat dengan bantuan sinar matahari. Produk sampingnya, dihasilkan gas oksigen yang dibebaskan ke udara.
Sebaliknya,  zat-zat sisa seperti ammonia, nitrit, dan nitrat merupakan racun bagi ikan. sehingga, ikan membutuhkan lingkungan air yang bebas dari senyawa-senyawa tersebut. Amonia merupakan gas dalam kondisi normal yang dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Ambang batas kandungan ammonia bagi ikan berada pada kisaran angka 0,2 mg/ liter atau 0,2 ppm. Kandungan ammonia yang terlalu tinggi melebihi ambang batas ini akan menganggu ikan dalam memperoleh oksigen dari air. Konsentrasi yang mencapai 0,5 ppm akan menyebabkan kematian pada ikan. sementara itu, ikan lebih toleran terhadap kandungan senyawa nitrit dan nitrat. Pada konsentrasi di bawah 100 mg/L atau 100 ppm, nitrit atau nitrat masih aman bagi kelangsungan hidup ikan.
Lingkungan ikan menghasilkan senyawa-senyawa yang menjadi nutrisi bagi tumbuhan. Sebaliknya, bagi ikan, senyawa tersebut tidak dikehendaki. Di dalam system akuaponik, dua kondisi ini disiasati sehingga lingkungan ikan terbebas dari zat-zat beracun. Pada saat yang sama, tanaman memperoleh pasokan nutrisi dari sisa metabolisme ikan.
Zat padat hasil samping ini mengendap di dasar kolam. Dalam kondisi anaerob, bakteri akan menguraikan zat ini menjadi senyawa yang berbahaya baik bagi lingkungan maupun ikan. Ammonia, nitrit dan nitrat yang dihasilkan bergantung pada seberapa banyak pakan yang diberikan, rasio konversi pakan (FCR), serta berapa banyak pakan yang terbuang. Senyawa Nitrogen tersebut berasal dari kandungan protein pada pakan. Sehingga, semakin tinggi kandungan protein pakan, semakin besar pula potensi senyawa Nitrogen yang dihasilkan di lingkungan hidup ikan. David Bengstson, peneliti asal University of Rhode Island, AS, mengungkapkan, dari total protein yang dikonsumsi ikan, hanya sekitar 30% saja yang diserap oleh tubuh ikan untuk pertumbuhan. Sementara, sisanya terbuang dalam bentuk urin, feses, dan proses pernafasan insang. Masih menuurut David, dari senyawa nitrogen yang terbuang tersebut, sekitar 49 - 60% akan terlarut dalam air dan sisanya, dalam kisaran 15 – 30% akan mengendap dalam bentuk partikulat di dasar kolam.
Tentu saja, seberapa banyak senyawa nitrogen yang menjadi produk samping dari budidaya ikan menjadi penting sebagai sumber nutrisi untuk tanaman. Wilson Andew Lennard, dari RMIT University, Melbourne Australia, mengungkapkan, sebagai acuan rasio antara ikan dan tanaman hidroponik, ia menggunakan 1 kg ikan yang dipelihara dengan 20 tanaman selada yang ditumbuhkan dalam system hidroponik.
Perlu kehadiran bakteri ‘perantara’
Perlu diketahui, meskipun akar tanaman bisa menyerap senyawa ammonia, konsentrasinya yang terlalu tinggi di daerah perakaran tanaman justru bisa menyebabkan keracunan. Untuk itu, perlu diupayakan agar konsentrasi ammonia yang terlarut di dalam air dalam ambang batas yang aman bagi tanaman. Agar konsentrasi ammonia tidak melebihi ambang batas, diperlukan koloni bakteri yang mampu mengubahnya menjadi senyawa nitrit dan nitrat. Bakteri yang berperan dalam kondisi ini adalah bakteri nitrifikasi, yaitu jenis bakteri nitrosomanas dan bakteri nitrobacter. Nitrosomonas akan mengoksidasi ammonia menjadi senyawa nitrit. Selanjutnya, bakteri nitrobacter akan mengubah nitrit menjadi senyawa nitrat.
Proses nitrifikasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat
Karakteristik dari koloni bakteri ini adalah sejenis mikroorganisme aerob, sehingga membutuhkan oksigen dalam proses nitrifikasi. Karena karakteristik ini, bakteri akan berkembang biak dan tumbuh subur pada air yang memiliki kandungan oksigen tinggi dan mengandung senyawa nitrogen. Air yang memiliki kandungan oksigen terlarut yang tinggi biasanya berdekatan dengan permukaan air yang kontak secara langsung dengan udara.
Selain itu, bakteri ini membentuk koloni dan hidup pada lapisan padat yang bersentuhan dengan air. Sehingga, diperlukan benda-benda padat, misalnya batuan atau permukaan padat lainnya sebagai tempat menempel bakteri tersebut.
Jenis tanaman dan ikan sistem akuaponik
Tidak semua jenis tanaman cocok untuk system akuaponik. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar sayuran yang berdaun hijau cocok ditumbuhkan dalam system ini. Meskipun demikian, beberapa sayuran tumbuh sangat subur dalam system akuaponik, di antaranya adalah kubis, selada, kemangi, selasih, tomat, kacang okra, belewa, dan paprika. Selain itu, ada beberapa jenis tanaman lain yang tumbuh baik dalam system akuaponik, yaitu buncis, kacang polong, sayur kol, talas/ keladi, lobak, stroberi, melon, bawang merah, lobak cina, wortel, dan ubi manis.
Untuk di Indonesia, redaksi infoakuakultur mencoba menelusuri informasi jenis tanaman apa saja cocok dipadukan dengan system akuaponik. Salah seorang praktisi akuaponik di Yogyakarta, Nanang Dwianto, S.Si, mengutarakan, tanaman yang pernah ia coba pelihara dan tumbuh baik dalam system akuaponiknya antara lain sawi, bayam, kembang kol, seledri, tomat, koro roay, serai, cabai, kangkung, bawang merah, kemangi, jembak, brokoli, dan selada.
#Foto Nanang Dwianto, S.Si dengan perangkat akuaponiknya
Di rumahnya, suami dari Bernadeta Siti Hawa ini memiliki tiga perangkat akuaponik. Ikan dan sayurannya untuk konsumsi keluarga. Di dalam kolam ikannya, dipelihara beberapa jenis ikan antara lain nila, grass carp, gurame, lele, bahkan ikan koi.  Mengenai perbandingan luasan kolam dan hidroponiknya, berdasarkan pengalamannya selama ini, ia menggunakan perbandingan luas yang sama antara hidroponik dengan kolam ikan. Ia mengaku, sistem akuaponiknya bisa memperbaiki kualitas air kolam.
Rancangan sistem akuaponik
Konstruksi kolam
Konstruksi kolam untuk sistem akuaponik bisa berbentuk apa saja. Syaratnya, kolam tersebut harus dilengkapi dengan sistem drainase sentral yang terletak di dasar kolam. Fungsinya adalah untuk menarik semua kotoran/ endapan yang terbentuk di dasar untuk dialirkan ke sistem hidroponik menggunakan pompa.
Nanang menuturkan, jenis kolam bisa berupa kolam IBC, kolam beton maupun kolam yang terbuat dari fiber. “Dalam membangun akuaponik ini, semua saya lakukan serba alami tidak ada penambahan bahan-bahan pabrik selain pelet  yang dimasukkan karena itu prinsip yang saya pegang,” ungkap ayah dari F.A. Tirta Prasaja ini. Di samping pellet, ia pun menggunakan dedaunan sebagai sumber pakan untuk ikannya, antara lain daun talas, kangkung, azola, duckweed, daun murbey, dan lain-lain. 
Ia melanjutkan, semua akuaponiknya menggunakan filter dengan volume 25-30 % dari volume kolam sehingga akan memberikan dampak baik terhadap kesehatan ikan. Filter terdiri dari dua unit yang memiliki fungsi berbeda. Filter yang pertama berfungsi sebagai pengendapan kotoran padat (bak/tong 1) dan yang kedua sebagi rumah bakteri (bak/tong 2). Untuk sistem dalam penanaman hampir seluruhnya menggunakan sistem pasang surut, dengan dibantu alat bell siphon dan juga siphon apung hasil inovasinya sendiri.

Skema kolam akuaponik milik Nanang Dwianto, S.Si
Media tanam
Media tanam untuk tanaman hidroponik bisa berasal dari arang sekam, arang tempurung kelapa, atau pecahan batu bata, seperti layaknya sistem hidroponik biasa. Di samping sebagai tempat tumbuh bagi tanaman, media ini juga berfungsi sebagai penyaring air sebelum masuk ke kolam. Dengan demikian, air yang telah melewati media ini akan melewati proses penyaringan dan menjadi bersih kembali.
“Media tanam, saya menggunakan arang kayu, pecahan genting, batu split, batu kerikil putih,” terang Nanang, “saya memilih sistem tersebut karena berbagai jenis tanaman bisa ditanam dengan sistem tersebut. Selain itu, adanya media tersebut bisa sebagai filter ke-2, sehingga air kolam lebih jernih,” ungkapnya. Pria yang gemar berbagi ini memberikan tips, sebaiknya setelah arang ditaburkan, ditambahkan pecahan genting. Hal ini untuk mencegah arang mengapung ketika dialiri air. Ke dalam bak filter ke-2, Nanang menambahkan serpihah genteng, fungsinya adalah sebagai tempat melekatnya bakteri yang berperan dalam penguraian ammonia.
Pipa untuk mengurangi endapan
Gambar skema filter endapan
Skema alat SLO (solid lifting overflow)
Instalasi pompa air
Ammonia yang merupakan racun bagi ikan, dimanfaatkan oleh bakteri menjadi nitrit dan nitrat, dua senyawa yang menjadi nutrisi bagi tumbuhan. Selanjutnya, air yang sudah bebas dari dua senyawa tersebut kembali bersih setelah melewati material penyaring fisik dan perlakuan biologis dialirkan kembali ke kolam ikan secara gravitasi.
Untuk menaikkan air dari kolam ke pot-pot tanaman, diperlukan pompa air. Pompa ini bisa berupa pompa tenggelam (submerged pump) atau pun pompa air listrik yang biasa.

(noerhidajat)

Optimalkan Resirkulasi Air Tambak dengan Saringan Pasir Lambat

Permasalahan pasokan air dalam sistem budidaya ikan dalam tambak merupakan salah satu kunci penting dalam keberhasilan budidaya. Terjadinya penurunan kualitas lingkungan menyebabkan pasokan air yang ideal menjadi hal yang lazim bagi petambak.

Keberhasilan budidaya ikan, baik di tambak (air payau) maupun di kolam darat (air tawar) sangat bergantung pada kualitas air. Untuk menjaga kualitas air tesebut, beberapa tambak menggunakan sistem pasokan air masuk buang. Artinya, air dari sumber dimasukkan ke dalam tambak kemudian beberapa hari selanjutnya disalurkan melalui lubang pengeluaran untuk dibuang. Namun, mengingat adanya keterbatasan sumberdaya air, sistem masuk buang dianggap tidak ekonomis dan boros air. Misalnya, ketika musim kemarau, pasokan air tersendat sehingga terjadinya kekurangan air ini akan menjadi masalah serius bagi pembudidaya. Di samping itu, tidak semua daerah memiliki sumberdaya air yang melimpah.

Oleh karena itu, untuk menyiasati keterbatasan sumberdaya air tersebut, dibuatlah sistem resirkulasi. Dengan menggunakan sistem ini, kondisi air tambak tetap terjaga dalam kondisi optimal tanpa harus menggunakan air yang berlebihan. Pasalnya, dalam sistem resirkulasi ini, air buangan tambak yang berasal dari saluran pengeluaran dialirkan kembali masuk ke dalam tambak. Tentu saja, sebelum dimasukkan ke dalam tambak tersebut, air harus melewati beberapa proses untuk mengembalikan kualitas air agar memenuhi persyaratan yang dikehendaki ikan.

Proses pengolahan air dalam sistem resirkulasi ini di antaranya adalah proses penapisan atau penyaringan air. Beberapa sistem penyaringan air sudah banyak dikenal saat ini. Namun, sistem yang sudah lama dikenal dan dianggap paling tua yaitu sistem penyaringan pasir lambat atau slow sand filter.

Persyaratan air tambak yang baik

Air tambak, sebagai lingkungan hidup ikan atau pun udang budidaya harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah batas maksimum kandungan zat organik dan anorganik 50 – 60 ppm, tingkat kekeruhan, dan total kandungan zat padat yang tersuspensi. Di samping itu, air harus terbebas dari mikroorganisme pathogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan budidaya. Untuk mendukung budidaya yang optimal, air tambak harus memenuhi persyaratan lain, di antaranya kadar garam/ salinitas air berkisar 10 – 35 ppt, pH pada kisaran normal (7,5 – 8,5).

Tambak biasanya dibangun di kawasan pantai, di mana terjadi pasang surut air laut. Tambak yang bagus terletak pada daerah pasang surut dengan perbedaan muka air pasang dan surut 1,5 hingga 2,5 m. Pasokan air tambak sebagiannya berasal dari air pasang ini. Ketika terjadi pasang, air laut akan masuk ke dalam tambak. Sementara itu, air tambak berbeda dengan air laut. Kadar garam atau salinitasnya lebih rendah daripada air laut. Untuk itu, tambak memerlukan campuran air tawar untuk menurunkan kadar garam yang terlalu tinggi. Pencampuran dua jenis air ini menghasilkan air payau dengan kadar salinitas 0,5 – 30 gram/ liter.

Saringan pasir lambat (slow sand filter)

Saringan pasir lambat merupakan sistem penyaringan air yang dianggap paling tua di dunia. Sistem ini pertama kali diaplikasikan di Amerika Serikat pada abad 19, sekitar tahun 1872. Pada awalnya, saringan pasir lambat ini digunakan sebagai pengolah air untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Meskipun mudah pembuatannya dan murah pengoperasiannya, hasil filtrasinya tidak bisa dianggap remeh.

Saringan ini terdiri dari media pasir dengan tingkat porositas tinggi sehingga mampu meloloskan air dalam waktu singkat. Hal ini karena keberadaan ruang kosong di antara partikel-partikel pasir yang ditempati udara. Pada ruang-ruang ini, terdapat banyak zat organic yang dikenal dengan istilah schmutzdecke, atau filter skin. Zat organic ini terdiri dari sekumpulan berbagai jenis mikroorganisme plankton, protozoa, rotifera, dll. Ketika terjadi proses penyaringan, air akan melewati celah-celah kecil ini dan akan berlangsung proses anorganik sederhana yang membentuk garam. Pada saat yang sama, senyawa nitrogen yang terkandung dalam air akan terurai dan teroksidasi. Ketika proses ini berlangsung, partikel padat yang tersuspensi dalam air akan tersaring.

Sebelum dialirkan ke instalasi saringan pasir lambat, air permukaan dengan kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi harus melewati beberapa perlakuan pendahuan, antara lain dengan rapid gravity filter atau dengan alat microstrainer. Sehingga, air dengan kandungan tingkat kekeruhan tinggi tidak menyumbat pori-pori yang terdapat di antara partikel pasir.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Wahyono Hadi dan mahasiswanya, Chandra Tri Febriwahyudi, dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, sistem saringan pasir lambat terbukti dapat digunakan untuk keperluan pengolahan air tambak bersamaan dengan sistem resirkulasi air. Berdasarkan penelitian mereka, air tambak yang sudah disaring dengan instalasi ini sudah memenuhi persyaratan air tambak yang dikehendaki. Saringan pasir lambat dapat menyaring air dengan tingkat kekeruhan 100 – 200 mg/l dalam beberapa hari. Keberadaan shmutzdecke atau filter skin ini dapat mengurangi kandungan bakteri pathogen dalam air (misalnya E.coli), tingkat kekeruhan air, dan mengurangi jumlah bahan organic dan anorganik yang tersuspensi dalam air.


Proses pembuatan slow sand filter

Saringan pasir lambat dibuat dari pasir sungai dengan diameter partikel 0.25 – 0.42 mm. Di bagian bawahnya, terdapat penyangga berupa kerikil dengan ukuran 20 – 30 mm (diameter). Penyangga ini berfungsi untuk mencegah pasir terbawa aliran air dan menyumbat saluran pengeluaran saringan. Arah aliran air memanfaatkan gaya gravitasi dengan arah aliran air dari atas ke bawah. Menurut Chandra dan Wahyono, ditemukan bahwa ketebalan efektif media pasir yang paling baik dalam menghilangkan kandungan bakteri E. coli dari air adalah antara 80 – 100 cm dengan laju filtrasi 0,1 m/jam. Mereka menyebutkan, ketebalan minimum media pasir agar tercapai efektivitas penyaringan air adalah sekitar 80 cm.

Cara pembuatannya cukup mudah dan peralatan yang dibutuhkan harganya terjangkau. Cukup sediakan tangki air, pasir, dan kerikil. Tangki air berfungsi sebagai tempat menempatkan pasir dan kerikil dan tempat dimana proses penyaringan berlangsung. Untuk tangki air, bisa digunakan wadah yang terbuat dari plastik atau terbuat dari tembok semen. Bentuknya dapat berupa silinder/ tabung ataupun menyerupai bak persegi. Selain itu, diperlukan juga beberapa bahan lain, di antaranya adalah;
  • Pipa paralon dengan beberapa siku/sambungan.
  • Keran air, ukurannya disesuaikan dengan diameter pipa.
  • Lem paralon secukupnya.
Penampang Saringan Pasir Lambat

Proses pengurasan saringan
Seiring dengan seringnya penggunaan saringan, efektivitas media penyaring semakin berkurang. Hal ini karena semakin menumpuknya partikel-partikel yang tertahan dan mengisi celah-celah antara partikel pasir. Kondisi ini akan menyumbat gerakan aliran air ketika proses penyaringan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan proses pengurasan/ pembersihan. Caranya yaitu mengalirkan air dengan arah yang berlawanan dari arah aliran proses penyaringan. Langkah ini dilakukan dengan menutup keran masuk (1) dan keluar air (2) saringan tersebut (lihat gambar 2). Selanjutnya, keran 3 dibuka, air bersih dialirkan melalui saluran tersebut. Air akan mengalir dari bawah ke atas dan terbuang melalui lubang overflow bersama partikel-partikel kotoran.

Fenomena Arus Balik Danau

Waduk Jatiluhur, Purwakarta menjadi salah satu dari sentra produksi ikan air tawar di Indonesia. Luas danau buatan yang dibangun era pemerintahan presiden Ir. Soekarno ini, menggenangi area 4.500 km2, menjadikannya waduk terluas tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.

Terletak di antara Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung, waduk multiguna ini memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah sebagai pembangkit listrik tenaga air, sumber air irigasi, objek pariwisata, bahkan sebagai sarana latihan atlet dayung nasional.

Sebagai sentra perikanan air tawar di Jawa Barat bahkan Indonesia, waduk Jatiluhur menghasilkan ikan konsumsi tak kurang 100 ribu ton setiap tahunnya. Berbagai jenis ikan dihasilkan dari sentra perikanan air tawar ini, mulai dari ikan mas, patin, nila, dan Di sana, ikan-ikan dibudidayakan dengan sistem keramba jarring apung. Peranannya menjadi sangat vital bagi pasokan ikan nasional. Bahkan, waduk ini menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk sekitar.

Bagi Jawa Barat, waduk ini memiliki peranan penting dalam menyumbang pasokan perikanan air tawar. Sebagai gambaran, produksi ikan mas di tahun 2013, Jawa Barat menghasilkan 40,5% dari produksi nasional dengan total produksi 167.390 ton. Sementara itu, provinsi ini juga menjadi lumbung produksi ikan nila paling tinggi dengan kapasitas produksi 205.951 ton dari total produksi nasional 909.016 ton. Dua jenis ikan ini menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi yang memiliki produktivitas tertinggi menurut data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Prestasi ini tentu tidak terlepas dari keberadaan waduk Jatiluhur yang menjadi penyokong produktivitas perikanan budidaya Jawa Barat.

Namun, reputasinya sebagai sentra perikanan air tawar terancam kian hari. Pasalnya, setiap tahun, menurut pengakuan Ah Liong, salah satu pembudidaya ikan di waduk tersebut, fenomena kematian massal hampir selalu terjadi. Kejadian ini tidak hanya menghantam para pembudidaya, pasokan ikan air tawar pun mengalami goncangan. Jumlah kerugian yang diderita bisa mencapai milyaran rupiah. Penyebabnya tidak lain karena adanya fenomena arus balik massa air, yang lebih dikenal dengan istilah upwelling.

Fenomena arus balik massa air

Fenomena arus balik atau upwelling, pada lingkungan perairan, baik itu di laut maupun perairan tawar, bahkan payau merupakan peristiwa alam yang terjadi  secara alamiah. Upwelling atau arus balik massa air terjadi ketika ada perbedaan suhu dalam perairan, antara suhu air di permukaan (bagian atas) dengan suhu air yang berada di dasar danau. Ketika terjadi penurunan suhu udara, misalnya ketika peralihan musim dari musim kemarau ke penghujan, suhu udara turun. Kondisi ini juga terjadi ketika cuaca dalam kondisi mendung dan tanpa matahari. Akibatnya, suhu permukaan air turun.

Akibat dari perbedaan suhu air ini, terjadi arus air dari dasar laut ke permukaan. Fenomena ini tidaklah mengherankan, mengingat air yang bersuhu yang lebih rendah memiliki densitas yang lebih tinggi daripada air yang bersuhu hangat. Sehingga air dingin akan tenggelam, sebaliknya air yang lebih hangat akan terapung ke arah permukaan.

Di perairan laut, fenomena upwelling menciptakan kondisi permukaan air yang kaya akan nutrient bagi ikan. sehingga, di tempat-tempat tersebut, banyak terdapat fitoplankton yang tumbuh subur. Makanan alami pun melimpah sehingga di daerah ini akan ditemui banyak ikan.

Upwelling di waduk Jatiluhur

Fenomena upwelling, seperti yang diungkapkan oleh pakar perikanan, Dr. Ir. Edward Danakusuma, M.Sc, di Cirata dan Jatiluhur merupakan dampak dari perubahan cuaca. Ia memaparkan, angin yang bertiup dari arah selatan berasal dari Samudera Hindia, bergerak melewati pegunungan Bandung selatan. Ketika melewati pegunungan ini, suhu angin menjadi semakin dingin. Lantas, angin ini akan turun melalui perbukitan dan berkumpul di sekitar permukaan badan air. Ditambah lagi kondisi cuaca mendung selama tiga hari berturut-turut. Selanjutnya, papar dosen perikanan Universitas Satya Negara itu, kondisi ini akan memicu penurunan suhu permukaan air waduk. Sementara itu, suhu air yang berada di dasar waduk, masih relatif hangat. Secara alamiah, air dari permukaan ini akan segera bergerak ke dasar waduk. Sementara itu, posisi air yang berada di dasar waduk yang bersuhu lebih tinggi akan bergerak ke arah permukaan.

Celakanya, air yang berada di dasar danau miskin akan kandungan oksigen. “Saya mengambil sampel air dari kedalaman 0 hingga 3 m setelah terjadi upwelling. Kandungan oksigennya nol,” papar Edward. Sementara itu, sampel air yang diambil lebih dalam, akibat proses upwelling ini, memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi karena berasal dari air yang ada di permukaan. “pada kedalaman 4 – 7 m, kandungan oksigennya mencapai 4 ppm, cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan,” ungkap peneliti yang pernah menjabat ketua MAI ini.

Air yang berasal dari dasar waduk kaya akan residu organic, yang berasal dari sisa-sisa pakan yang menumpuk. Ketika terjadi upwelling, massa organic ini akan naik mengikuti arah arus air. Ketika terjadi demikian, kandungan ammonia, nitrit, dan nitrat akan menyuburkan mikroflora, seperti fitoplankton. Sehingga, pakan alami ikan melimpah. “Pada proses upwelling, penyebab kematian ikan lebih karena akibat ketiadaan oksigen, bukan karena teraduknya kandungan ammonia, nitrit, dan nitrat yang mencuat ke atas,” terang Edward.

Ikan yang dibudidayakan di dua waduk tersebut dipelihara dalam sekat-sekat keramba jaring apung. Kedalaman jaringnya hanya mencapai rata-rata 4 meter. Dalam kondisi seperti ini, ikan terkurung di permukaan. Ketika upwelling terjadi, mereka tak bisa beralih tempat lain yang kaya kandungan oksigennya. Akibatnya, ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan kematian massal ikan budidaya tak terelakkan.

Dalam lingkungan mikro, menurut Edward, seperti di akuarium atau kolam berukuran kecil, senyawa ini menjadi racun bagi ikan. Namun, untuk kasus perairan yang luas, seperti waduk atau danau, keberadaan senyawa Nitrogen ini dimanfaatkan dan diserap oleh mikroflora, misalnya fitoplankton.

Mengenai kapan terjadinya fenomena upwelling, Edward menjawab tidak bisa dipastikan. “Yang jelas, ketika orang-orang di sekitar waduk sudah mengenakan jaket, bendera-bendera  berkibar ke arah utara. Ini berarti, angin bertiup dari selatan. Ditambah mendung selama tiga hari berturut-turut, siap-siaplah bakal terjadi upwelling,” terangnya panjang lebar.

Akan tetapi, jika hari cerah, upwelling kemungkinan besar tidak akan terjadi. Pasalnya, dengan keberadaan sinar matahari, fitoplankton bisa melangsungkan proses fotosintesis. Dari aktivitas fotosintesis mikroflora ini, akan dihasilkan gas oksigen dan ikan akan memanfaatkannya.

Kejadian yang sulit diprediksi ini tentu saja sangat memukul sering menghantui pembudidaya dan penggiat akuakultur di sekitar waduk. Sehingga, kondisi ini bisa menggoyahkan rantai pasokan ikan budidaya air tawar. Tak tanggung-tanggung, menurut Edward, kematian ikan di waduk Cirata, Jawa Barat, bisa mencapai 67.000 ton untuk tahun 2014. Jumlah yang sangat fantastis. Sementara itu, untuk di waduk Jatiluhur, kasus upwelling bisa memakan korban 1000 ton ikan yang mati dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.

Blooming populasi fitoplankton

Sementara itu, menurut salah seorang peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof. Endi Kartamihardja, fenomena upwelling yang terjadi di Waduk Jatiluhur karena adanya cuaca yang ekstrem. hal ini bisa ditengarai dengan cuaca yang mendung berkepanjangan dan hujan gerimis yang terus-menerus tanpa adanya sinar matahari selama berhari-hari. Akibatnya, akan terjadi perbedaan suhu di air di permukaan dan dasar waduk yang pada akhirnya ‘umbalan’ terangkat dari dasar. Massa air yang berwarna hitam ini mengandung senyawa-senyawa beracun bagi ikan antara lain ammonia, nitrit, metana, dan H2S. Dampaknya, kematian ikan massal pun terjadi.

Melimpahnya senyawa-senyawa yang berasal dari penguraian bahan organic merukana nutrient bagi mikrofola. Sehingga, konsentrasi yang tinggi senyawa-senyawa ini menyebabkan meledaknya populasi filoplankton dalam perairan. Kehadiran mikroflora ini menjadi pakan alami bagi ikan-ikan yang memangsa plankton. Namun, ketiadaan sinar matahari selama beberapa hari berturut-turut akan menyebabkan proses fotosintesis tanaman mikro tersebut tersendat, bahkan terhenti. Akibatnya, terjadi kematian massal fitoplankton.

Tentu saja, setelah mati, lautan bahan organik ini akan mengalami penguraian oleh mikroba. Proses penguraian ini secara langsung membutuhkan pasokan oksigen dari dalam air. Akibatnya, kebutuhan oksigen biologis akan meningkat drastis. Di lain pihak ikan pun membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sehingga, kondisi minimnya oksigen terlarut dalam air, terhentinya proses fotosintesis fitoplankton, dan meningkatnya kebutuhan oksigen biologis untuk proses penguraian bahan organik semakin memperparah kondisi perairan.

Langkah penanggulangan

Fenomena upwelling merupakan kejadian alam, sehingga, sulit untuk dicegah. Adapun Ketika ditanya mengenai pengendalian dan penanganannya, Edward menyarankan untuk melakukan penambahan oksigen. “Tabung oksigen diberi selang melalui regulator dan dimasukkan ke dalam air,” ungkapnya. Menurutnya,teknik ini terbilang murah jika dibandingkan dengan kerugian yang ditanggung akibat kematian ikan massal. “

“satu tabung oksigen bisa dipakai selama 5 x 24 jam dengan bantuan pembentuk gelembung udara. Usahakan agar pembentuk gelembung udara berlubang-lubang berukuran halus untuk meningkatkan daya larut oksigen dalam air.” Ukuran lubang gelembung yang terlalu besar menghasilkan gelembung udara yang besar. “Akibatnya, oksigen akan mudah menguap ke udara sebelum larut dalam air,” tambahnya.

Di kawasan waduk Jatiluhur, pemerintah pernah melakukan penebaran bandeng dalam kurun waktu 2008 – 2010. Usaha ini membuahkan hasil dengan tidak terjadinya kematian massal. Pasalnya, bandeng merupakan ikan yang memakan fitoplankton. Dengan demikian, meledaknya populasi plankton bisa ditekan dengan keberadaan ikan ini.

Di samping itu, ada beberapa jenis ikan lain yang dikenal sebagai pemakan plankton selain bandeng, yaitu mola, tambakan, nila dan sepat.
Sementara itu, pihak pemerintah pun melakukan beberapa langkah mitigasi untuk mengurangi dampak terjadinya kematian massal ini. Beberapa di antaranya adalah dengan memberikan peringatan kepada para pembudidaya perihal tanda-tanda akan terjadinya arus balik air. Selanjutnya, pemerintah tengah melakukan penertiban keramba jaring apung yang beroperasi. Pasalnya, jumlahnya sudah jauh melebihi daya dukung waduk. Selain itu, KKP mengimbau kepada para pembudidaya untuk melakukan panen dini ketika muncul tanda-tanda upwelling akan terjadi. Langkah selanjutnya, adalah jika kematian sudah tak bisa dihindari, pemerintah menyediakan teknologi pengolahan ikan yang mati sebagai upaya mitigasi pasca kematian massal terjadi (noerhidajat).

selanjutnya: pengolahan limbah organik